Jumat, 30 Desember 2011

Umar bin Abdul Aziz (Tiga Peristiwa Penting Bersama Beliau)


Berita tentang khalifah tabi’in Umar bin Abdul Aziz ini penuh dengan perjalanan yang mengesankan. Setiap Anda selesai membaca satu lembar kisah hidupnya, maka hati akan tergerak untuk mengetahui lembar berikutnya. Lembar-lembar yang semakin kaya akan keindahan… makin ke dalam semakin menakjubkan.

Telah kami kisahkan tiga peristiwa yang menggambarkan kehidupan khalifah rasyidah yang kelima ini pada bab terdahulu. Maka marilah kita nikmati sekarang tiga peristiwa lain yang tak kalah menarik dan mengesankan dari yang telah kami ceritakan di depan.

Kisah pertama, diceritakan oleh Dukain bin Sa’id Ad-Darimi seorang penyair tersohor, dia berkata:

“Suatu ketika saya mendatangi Umar bin Abdul Aziz sewaktu masih menjadi gubernur Madinah, aku diberi hadiah 15 ekor pilihan. Setelah berada di tanganku, aku memperlihatkannya, aku merasa kagum melihatnya, aku menjadi khawatir membawanya pulang ke desaku seorang diri, sedangkan aku merasa sayang untuk menjualnya.

Ketika aku masih dalam kebingungan, beberapa kawan datang kepadaku. Mereka hendak kembali ke perkampunganku di Najad, maka kau menawarkan diri sebagai kawan perjalanan. Mereka berkata, “Silakan, kami akan berangkat malam ini, bersiap-siaplah untuk berangkat bersama kami.”

Saya segera menjumpai  Umar bin Adul Aziz untuk berpamitan. Saat itu ada dua orang tua yang tak kukenal di majelisnya. Tatkala aku hendak beranjak pulang, gubernur Madinah itu menoleh kepadaku lalu berkata, “Wahai Dukain, sesungguhnya aku memiliki ambisi besra. Bila kau dengar aku lebih jaya daripada keadaanku sekarang, datanglah aku akan memberimu hadiah.” Aku berkata, “Datangkanlah saksi untuk janji Anda itu.” Beliau berkata, “Allah SWT adalah saksi paling baik.” Aku katakan, “Saya ingin saksi dari makhluk-Nya.” Beliau berkata, “Baiklah, kedua orang ini menjadi saksinya.”

Lalu saya menghampiri salah satu dari kedua syaikh tersebut, lalu aku bertanya, “Demi ayah bundaku, siapakah nama Anda agar saya dapat mengenal Anda?” syaikh itu menjawab, “Aku Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab.” Aku menoleh kepada Umar bin Abdul Aziz dan berkata, “Saya setuju dan percaya orang ini sebagai saksi.”

Kemudian aku bertanya kepada syaikh yang satunya, “Siapakah Anda?” dia menjawab, “Abu Yahya, pembantu amir.” Aku katakan, “Saksi ini dari keluarganya, saya setuju.” Kemudian aku mohon diri dengan membawa onta-onta itu ke kampung halamanku. Allah memberkahiku sampai aku bisa membeli onta dan budak-budak yang lebih banyak.

Hari bergulir terasa cepat. Ketika aku berada di gurun Falaj Yamamah, tiba-tiba datanglah berita wafatnya Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Aku bertanya kepada pembawa berita, “Siapakah khalifah penggantinya?” dia menjawab, “Umar bin Abdul Aziz.”

Demi mendengar berita itu, aku bergegas untuk berangkat menuju Syam. Di Damaskus aku bertemu dengan Jarir  yang baru kembali dari tempat khalifah. Aku ucapkan salam kepadanya lalu bertanya, “Dari manakah engkau wahai Abu Hazrah?”

Dia menjawab, “Dari khalifah yang pemurah kepada fakir miskin dan menolak para penyair. Sebaiknya Anda pulang saja karena itu lebih baik bagi Anda.” (karena aku adalah penyair). Aku katakan, “Saya memiliki kepentingan pribadi yang berbeda dengan kepentingan kalian semua.” Dia menjawab, “Jika demikian, terserah Anda.”

Aku terus menuju ke kediaman khalifah. Ternyata beliau sedang berada di serambi, dikerumuni anak-anak yatim, para janda dan orang-orang teraniaya. Ketika aku merasa tidak bisa menerobos kerumunan itu, aku pun mengangkat suara:

“Wahai Umar nan bijak dan dermawan
Umar nan sarat pemberian
Aku orang Qathn dari suku Darim
Menagih hutang saudara yang dermawan.”

Ketika itu Abu Yahya memperhatikan aku dengan seksama kemudian menoleh kepada Amirul Mukminin dan berkata, “Wahai amirul mukminin, saya adalah saksi dari orang dusun ini.” Beliau berkata, “Aku tahu itu.” Beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Mendekatlah kemari, wahai Dukain.” Setelah aku berada di hadapannya, beliau berkata lagi, “Ingatkah engkau kata-kataku sewaktu berada di Madinah? Bahwa aku punya ambisi besar dan menginginkan hal yang lebih besar dari apa yang sudah aku miliki.” Aku berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

“Sekarang aku telah mendapatkan yang tertinggi di dunia, yaitu kerajaan. Maka hatiku menginginkan sesuatu yang tertinggi di akhirat, yaitu surga dan berusaha meraih  kejayaan berupa ridha Allah SWT. Bila para raja menggunakan kerajaannya sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan dunia, maka aku menjadikannya jalan untuk mencapai kehormatan di akhirat. Wahai Dukain, aku tidka pernah menggelapkan harta muslimin walau satu dinar atau satu dirham pun sejak berkuasa di sini. Yang aku miliki tidak lebih dari 1000 dirham saja. Engkau boleh mengambil separuhnya dan tinggalkanlah separuhnya untukku.”

Maka aku mengambil apa yang beliau berikan kepadaku. Demi Allah, aku belum pernah melihat uang yang lebih berkah dari pemberian itu.

Kisah kedua, diceritakan oleh seorang qadhi Mushil Yahya Al-Ghassani, beliau menuturkan ceritanya:

Suatu hari Umar bin Abdul Aziz berkeliling di pasar-pasar Himsha untuk memantau situasi perdagangan dan mengamati harga-harga. Mendadak seseorang berpakaian merah menghadang di depannya seraya berkata, “Wahai amirul mukminin, saya mendengar berita bahwa barangsiapa yang mempunyai keluhan, dia boleh mengadukannya secara langsung kepada amirul mukminin.” Beliau menjawab, “Benar.” Oran gitu berkata, “Di hadapan Anda telah ada seorang yang teraniaya dan jauh dari rumahnya.” Khalifah bertanya, “Dimanakah keluargamu?” Dia menjawab, “Di Aden.” Khalifah berkata, “Demi Allah, rumahmu benar-benar jauh dari rumah Umar.” Khalifah segera turun dari kudanya dan beridiri di depan orang itu lalu bertanya, “Apa keluhanmu?” dia berkata, “Barang saya hilang karena diambil oleh orang yang mengaku pegawai Anda, lalu dia merampas barang milik saya.”

Segera Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada gubernurnya di Aden, Urwah bin Muhammad, yang isinya antara lain, “Jika surat telah sampai kepadamu, maka dengarkanlah keterangan dari pembawa surat ini. Bila terbukti dia memiiliki  hak, segera tunaikanlah haknya kembali.” Surat itu distempel kemudian diserahkan kepada orang itu.

Ketika orang itu hendak pergi, Umar berkata, “Tunggu sebentar, engkau datang dari tempat yang sangat jauh. Pasti engkau telah mengeluarkan biaya untuk perjalanan ini. Mungkin baju barumu menjadi usang, bisa jadi kendaraanmu mati di jalan..” kemudian beliau menghitung seluruhnya dan mencapai sebelas dinar, lalu diberinya orang itu ongkos ganti rugi sambil berpesan, “Beritahukan kepada orang-orang supaya tidak segan-segan melapor dan mengadu kepadaku meski jauh rumahnya.”

Tinggallah kisah yang ketiga, berasal dari seorang yang abid dan zahid, bernaman Ziyad bin Maisarah Al-Makhzumi. Beliau bercerita:

“Suatu ketika aku diutus oleh majikanku, Abdullah bin Ayyash, dari Madinah menuju Damaskus untuk menemui Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz karena suatu keperluan. Antara aku dan Umar bin Abdul Aziz pernah berhubungan lama, yaitu saat beliau masih menjadi gubernur Madinah.

Ketika aku masuk, beliau sedang bersama penulisnya. Di muka pintu aku memberi salam, “Assalamu’alaikum.” Beliau menjawab, “Wa’alaikum salam warahmatullah, wahai Ziyad.” Tiba-tiba aku merasa bersalah karena tidak memberi salam penghormatan terhadapnya sebagai amirul mukminin. Maka aku mengulangi salamku, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, wahai amirul mukminin.” Beliau berkata, “Wahia Ziyad, kami telah menjawab salammu yang pertama, lalu apa perlunya engkau mengucapkannya dua kali?”

Saat sekretarisnya membacakan pengaduan-pengaduan yang dikirm dari Bashrah lewat surat. Beliau berkata, “Wahai Ziyad, duduklah sampai kesibukanku ini selesai.”

Aku pun menuruti perintahnya. Lalu sekretarisnya meneruskan membaca laporan, sementara nafas khalifah naik turun karena gelisa mendengar pengaduan-pengaduan itu. Ketika sekretaris menyelasaikan perkeraannya dan pergi, Umar berdiri menghampiriku. Beliau duduk di sisiku dekat pintu, menaruh tangannya di atas lututku sambil berkata, “Beruntunglah wahai Ziyad. Engkau bisa mengenakan baju takwamu dan terhindar dari kesibukan-kesibukan yang kami tangani saat ini.” Kebetulan saatu itu akan memakai baju taqwa.

Kemudian beliau bertanya tentang banyak hal. Tentang orang-orang shalih Madinah baik pria maupun wanitanya satu persatu, tak ada satupun yang kelewatan, semua beliau tanyakan kepada saya. Juga tentang bangunan-bangunan yang dibuatkan ketika beliau masih menjadi gubernru di Madinah. Aku menjawab semuanya dengan baik.

Setelah itu kulihat beliau menghelat nafas panjang lalu berkata, “Wahai Ziyad, tidakkah engkau lihat bagaimana keadaan Umar sekarang?” saya berkata, “Saya mengharapkan pahala dan kebaikan bagi Anda.” Beliau menjawab, “Alangkah jauh…” lalu beliau menagis sampai aku merasa iba melihatnya. Lalu aku berkata, “Wahai amirul mukminin, tenangkanlah hati Anda, saya mengharapkan kebaikan bagi Anda.”

Beliau  menjawab, “Alangkah jauhnya diriku dari yang Anda harapkan. Telah datang kewenganganku untuk memaki, namun tak boleh ada orang memakiku, ada kewenangan aku untuk memukul orang namun orang lain tak boleh memukulku, aku boleh manyakiti  manusia sedangkan tak satu pun yang berani menyakitiku.” Beliau menangis lagi sampai ak utak tahan melihatnya karena iba dan terharu.

Aku berada di tempat khalifah tiga hari hingga semua urusan yang diamanatkan oleh majikanku beres. Ketika aku hendak pulang, khalifah menitipkan surat untuk majikanku, meminta agar majikanku mau menjual diriku kepada amirul mukminin. Kemudian dari bawah bantalnya, Amirul Mukminin mengambil uang sebesar 20 dinar lalu memberikannya kepadaku: “Pakailah untuk meringankan kehidupanmu. Seandainya engkau punya hak atas sebagian fai’, niscaya akan aku berikan untukmu.”

Mulanya aku menolak pemberian itu, tetapi beliau mendesaknya, “Terimalah, ini bukan dari harta kaum muslimin atau kas negara, ini adalah uang pribadiku.” Aku tetap menolak dan beliau terus mendesaknya hingga akhirnya aku menerimanya. Kemudian saya mohon diri untuk pulang.

Sesampainya aku di Madinah, ku serahkan surat pribadi Amirul Mukminin kepada tuanku. Setelah dibaca, dia berkata, “Dia ingin aku menjualmu ekpadanya semata-mata untuk memerdekakan dirimu. Maka, mengapa bukan aku saja yang menjadi seperti dia dan membebaskanmu?” lalu aku dimerdekakan oleh tuanku.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 279-286.


Minggu, 25 Desember 2011

Biografi Al-Hafidz ibnu Hajar Al-Asqalani




Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:
Nama dan Nashab
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)
Gelar dan Kunyah Beliau
Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhisyaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddindengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Alidan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).
Sifat beliau
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.
Pertumbuhan dan belajarnya
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk sepertiAl-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-HaafizhAl-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’robserta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.
Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).
Para Guru Beliau
Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:
  1. Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
  2. Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:
  1. Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits.
  2. Guru yang memberikan ijazah kepada beliau.
  3. Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.
Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka  yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.
Diantara para guru beliau tersebut adalah:
I.  Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):
Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-SyathibiyahShahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II.  Bidang ilmu Fikih:
  1. Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini  Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.
  2. Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.
  3. Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi  (725-782 ).
III.   Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :
Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.
IV.  Bidang ilmu Sastra Arab :
  1. Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar  Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
  2. Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).
V.  Bidang hadits dan ilmunya:
  1. Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
  2. Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:
  • Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
  • Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
  • Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
  • A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
  • Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
  • Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
  • Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
  • At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.
Murid Beliau
Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
  1. Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
  2. Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
  3. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
  4. Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
  5. Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
  6. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki  wafat tahun 871 H.
  7. Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
  8. Ibnu Al-Haidhari.
  9. At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
  10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
  11. Qasim bin Quthlubugha.
  12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
  13. Ibnu Quzni.
  14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
  15. Al-Muhib Al-Bakri.
  16. Ibnu Ash-Shairafi.

Menjadi Qadhi
Wafatnya
Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul.  Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H. berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”
Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukmininkhalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yangdhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-SyaikhAl-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.
Karya Ilmiah Beliau.
Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.
Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.
Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
  • Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
  • An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
  • Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
  • Taghliq At-Ta’liq.
  • At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
  • Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
  • Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.
  • Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
  • Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
  • Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
  • Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
  • Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
  • Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
  • Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
  • Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
  • Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
  • Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
  • Taqrib At-Tahdzib.
  • Tahdzib At-Tahdzib.
  • Lisan Al-Mizan.
  • Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
  • Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
  • Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
  • Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
  • Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
  • Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.
Referensi:
  1. Muqaddimah kitab an-Nukaat ‘Ala ibni ash-Shalaah oleh Syeikh Prof. DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali.
  2. Muqaddimah kitab Subul As-Salaam.
Penulis Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.